IRONI JUDI ONLINE

Oleh
Dr. Naya Amin Zaini, SH.,MH

Permasalahan judi online (judol) saat ini sudah menjadi penyakit sosial yang meresahkan. Dampaknya begitu luas, mulai dari jeratan utang, tindak pencurian, hingga kasus bunuh diri. Ironisnya, di tengah upaya pemerintah memberantas praktik ini, justru terungkap bahwa oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terlibat aktif sebagai admin sekaligus pelindung situs judi online. Alih-alih menjadi garda depan dalam pemberantasan, mereka justru berkhianat terhadap amanah publik.

Kasus ini terungkap pada November lalu ketika Polda Metro Jaya menangkap 11 orang tersangka, termasuk pegawai dan staf ahli Komdigi. Fakta yang terkuak sangat mengejutkan: para tersangka memiliki kewenangan untuk memblokir situs judi, tetapi justru menyalahgunakannya. Dari total sekitar 5.000 situs yang diawasi, 4.000 diblokir sesuai aturan, namun sekitar 1.000 situs lainnya justru “dibina” agar tetap beroperasi. Untuk setiap situs yang dipelihara, para pelaku diduga menerima imbalan sekitar Rp8,5 juta. Praktik ini dijalankan melalui kantor satelit di kawasan Ruko Galaxy, Bekasi, yang dijadikan markas admin dan operator judi online.

Perkembangan kasus ini semakin serius setelah jumlah tersangka bertambah hingga 24 orang, dengan setidaknya 10 orang berasal dari internal Komdigi. Beberapa nama penting bahkan disebut terlibat sebagai pengendali, termasuk sosok mantan komisaris BUMN dan pejabat internal. Fakta lain yang terungkap, ada SOP baru yang sengaja disusun untuk memberi jalan bagi oknum tertentu masuk ke tim pemblokiran, sehingga mereka bisa menentukan situs mana yang diblokir dan mana yang tetap hidup. Artinya, permasalahan bukan sekadar ulah individu, melainkan penyalahgunaan kewenangan yang bersifat sistemik.
Kondisi ini jelas mencoreng integritas lembaga negara. Komdigi seharusnya menjadi benteng yang menjaga ruang digital dari konten ilegal, tetapi malah terlibat melanggengkan aktivitas kriminal. Dampak reputasinya pun fatal: kepercayaan publik runtuh, investor digital semakin skeptis, dan keamanan siber Indonesia dipertanyakan. Negara bukannya hadir melindungi, tetapi justru memberi ruang bagi praktik haram tumbuh subur dari dalam birokrasi itu sendiri.

Diperlukan langkah nyata: audit forensik sistem pemblokiran, transparansi daftar situs judi yang diblokir, rotasi pegawai berakses tinggi, hingga pembentukan sistem whistleblower yang dilindungi hukum. Para pelaku juga harus dijatuhi sanksi pidana dan administratif secara terbuka agar efek jera benar-benar terasa.
Kasus ini harus menjadi momentum untuk reformasi besar-besaran tata kelola digital di Indonesia. Publik berhak menuntut akuntabilitas penuh, bukan hanya penangkapan beberapa oknum. Tanpa perubahan sistem, ancaman serupa akan terus berulang. Judi online tidak akan pernah bisa diberantas jika pengawasnya justru menjadi bagian dari sindikat. Sudah saatnya negara hadir dengan tegas, membuktikan bahwa hukum berdiri di atas kepentingan rakyat, bukan tunduk pada mafia digital.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *